Beberapa waktu yang lalu aku membaca sebuah buku tentang Shalat. Pengarangnya adalah seorang yang sudah cukup berumur, terpampang dengan foto yang glamour di salah satu halamannya. Ia tidak mengenakan jilbab. Aku menjadi skeptis melihat foto itu. Wanita ini, dengan busana yang ‘tidak islami’, akan mengajariku tentang sholat? Kepadaku, seorang jilbaber?
Karena penasaran, aku teruskan membaca buku itu (lagian aku memang ‘kutu buku’, kalau sudah dibuka sebuah buku, pantang ditutup sebelum dibaca). Namun ketika aku membaca bagaimana hubungan wanita itu dengan Allah, bagaimana shalat menjadi charger bagi dirinya sehari-hari, bagaimana ia meluangkan waktunya untuk berlama-lama dengan Allah di antara jadwalnya yang padat, aku merasa malu pada diri sendiri.
Lalu bagaimana denganku, yang sudah berjilbab misalnya? Bagaimana denganku, yang baru-baru ini telah memutuskan untuk berbusana muslim misalnya? Aku masih saja ‘berjuang keras’ untuk menemukan koneksi dengan Allah di saat shalat. Aku masih sulit berkonsentrasi, khusyuk.
Lalu aku mulai berfikir apa sebenarnya yang membuatku mengenakan jilbab? Benar, ia merupakan perintah dari Allah. Tetapi, sebuah kado terbungkus rapi tanpa hadiah di dalamnya hanya akan menjadi kotak terbungkus rapi bukan? Tak lain dan tak lebih dari itu.
Kapan tepatnya aku hanya menjadi kotak terbungkus rapi ini?
Ya, aku senang dengan rasa aman yang diberikan melalui jilbab kepadaku. Aku suka dengan pakaian yang dengannya ia melindungiku dari pandangan liar. Aku ingin berpesan bahwa aku bukan sekedar tubuh tetapi seseorang dengan kepribadian. Aku mengenakannya untuk Allah.
Benar, jilbab memang seperti itu, tetapi ada banyak lagi dengannya.
Apakah aku hanya sopan dalam cara berbusana saja? Ataukah kesopanan dan kehormatan itu meliputi juga cara bicaraku, fikiran dan perasaanku? Apakah ia menjadikanku kecil di hadapan Allah? Apakah ia menjadikanku lebih berguna? Apakah kesederhanaan busanaku tercermin juga dalam seluruh aspek lain kehidupanku? Ataukah aku hanya berjilbab dalam busana saja? Apakah aku telah menghidupkan islam sebagaimana seharusnya?
Jawaban atas beberapa dari pertanyaan di atas tidaklah selalu gampang. Introspeksi, mawas diri, tidak pernah menjadi teman yang menyenangkan.
Engkau lihat, islam tidaklah sekedar berbusana dengan cara tertentu atau melakukan ritual ibadah tertentu. Ia adalah jalan hidup. Islam tidak seharusnya menjadi bagian dari hidupmu, Islam seharusnya adalah hidupmu itu sendiri. Mungkin aku terlalu cepat mengenakan jilbab atau mungkin aku memutuskan mengenakannya karena terasa nyaman saja. Yang mana saja, aku tidak pernah memahaminya dengan sempurna. Aku tidak faham bahwa berhijab (jilbab) bukanlah sesuatu yang wajib kita lakukan melainkan sesuatu yang kita butuhkan dan harapkan. Ia seharusnya secara alamiah muncul ketika kita telah berserah diri, berislam, kepada Allah. Tak perlu ditanyakan lagi.
Ditambah lagi, jilbab tidaklah sekedar selembar kain yang melilit kepalamu. Ia adalah kemuliaan dan kata kerja juga! Jadi, sekarang aku harus membuat daftar semua hal yang merupakan makna berjilbab (hijab) untuk menilai kekuranganku dan mencari tahu bagaimana aku menjadi pribadi yang lebih baik yang pantas dengan jilbab yang kukenakan.
Memutuskan mengenakan jilbab tidaklah akhir dari perjuangan saudariku. Ia sebenarnya adalah awal dari perjalanan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, muslimah yang lebih baik. Insya allah.
[Oleh Bookworm Hijabi, diterjemahkan dengan ijin dari IGotItCovered, Online Hijab Community]
3 comments for “Kado Terbungkus Rapi?”