Suatu hari seorang bunda mengajak kedua buah hatinya berjalan-jalan. Ia ingin mereka mulai dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya setelah sekian waktu sebelumnya mereka tumbuh besar di belahan bumi Allah lainnya.
Banyak hal yang ditanyakan buah hatinya dengan penuh antusias saat menyusuri seruas trotoar. Namun tiba-tiba putra sulungnya berteriak “Eh, kok buang sampah sembarangan?”, rupanya ia menegur seorang remaja berseragam putih-abu yang baru saja melontarkan kertas pembungkus batangan coklat di jalanan.
Kontan saja semburat merah merona di pipi sang remaja berseragam putih-abu itu. Ia tak menyangka akan ditegur anak kecil berusia 4 tahun di depan kedua temannya. Tetapi tak berapa lama ia melenggang acuh dan tertawa-tawa bersama temannya.
Sementara itu anak kecil tadi masih dengan perasaan jengkel, memungut sampah batangan coklat tersebut. Ia menengok ke sekitarnya berharap menemukan tempat sampah, namun yang dicari tak ditemukannya. Terpaksalah ia menyimpan di saku celananya sambil menghampiri sang bunda lalu melontarkan sebuah tanya…
“Bunda, kenapa kakak itu buang sampah sembarangan?”
Sang bunda berpikir sejenak lalu ia berkata, “mungkin si kakak tadi belum tahu kalau bersih itu bagian dari iman”.
Sang bunda tak menyangka kalau putra sulungnya itu akan mengejar pernyataannya dengan pertanyaan lainnya. Jadilah ia harus menjelaskan lebih lanjut.
Setelah terlebih dahulu melontarkan beberapa pertanyaan dalam mengawali penjelasannya seperti siapa Allah, siapa mereka, bagaimana ia yakin Allah itu ada, mengapa shalat harus didahului dengan berwudhu, dll., yang dijawab dengan baik oleh sang buah hati. Barulah sang bunda dengan hati-hati menjelaskan…
“Allah menyukai kebersihan, maka sudah sepatutnya jika kita yakin adanya Allah tentu kita harus selalu menjaga kebersihan. Itu tandanya kita orang beriman,…” bunda hendak melanjutkan penjelasannya namun sang putra telah mendahuluinya dengan melontarkan sebuah tanya lagi…
“Berarti di sini banyak orang yang tidak beriman pada Allah ya Bunda? Tuh, lihat! Banyak sampah dibuang sembarangan dan jadi kotor deh di mana-mana. Tapi…, di tempat kita yang dulu berarti banyak orang beriman sama Allah ya?… kan di sana bersih tak ada sampah yang dibuang sembarangan?”
Sang bunda merasa tertohok dan malu dengan pertanyaan sekaligus analisa sederhana sang buah hati. Pikirannya sejenak teringat pada lingkungan bersih di tempat yang disebut buah hatinya tadi.
Sekalipun tak dinafikan di negeri tersebut ada pula orang yang buang sampah sembarangan dan sering ditemukan pecahan botol di jalanan (mungkin bekas orang mabuk), tetapi mayoritas penduduknya sangat disiplin dalam hal menjaga kebersihan termasuk buang sampah di tempat yang telah disediakan peruntukkannya. Membuang botol-botol bekas pada tempatnya tersendiri, demikian pula untuk kertas, plastik atau barang yang masih bisa di daur-ulang serta sampah organik, masing-masing pada tempatnya. Hampir di setiap tempat termasuk di trotoar jalan maupun taman akan ditemukan tempat membuang sampah. Ada pula di beberapa swalayan menyediakan fasilitas untuk membuang botol plastik bekas air mineral. Uniknya setelah semua botol dibuang ke mesin tersebut, maka akan keluar sebuah kupon dengan sejumlah angka tertera di dalamnya yang menunjukkan nilai uang yang bisa diambil di kasir saat kupon tersebut ditukar. Biasanya 1 botol mineral senilai 20 sen.
Sementara itu, di negeri tercinta pun tak dinafikan sudah ada masyarakat yang menghidupkan budaya bersih ini, namun sepertinya mayoritas masyarakat masih didominasi orang-orang yang tak peduli dan tak mengindahkan arti pentingnya bersih untuk lingkungannya. Banyak selokan yang berubah fungsi menjadi tempat pembuangan sampah begitu pula dengan sungai. Sehingga ketika hujan deras mengguyur, tak ayal banjir selalu hadir dan masyarakat seperti menjadi terbiasa karenanya.
Masyarakat negeri gemah ripah ini mayoritas berpenduduk muslim yang berarti sebagian besar masyarakatnya meyakini Allah sebagai Tuhannya. Lantas bagaimana ia tunjukkan rasa berimannya itu, kalau sabda Rasulullah bahwa “bersih itu bagian daripada iman” tak diindahkan?
Padahal, jika saja penduduk negeri yang mayoritas menjadikan Allah sebagai Tuhannya ini konsekuen dengan keberimanannya, banyak hal yang bisa diperbuat berkaitan dengan sampah ini. Misalnya, mencontoh apa yang dilakukan negeri-negeri bersih itu dengan membuat sampah sesuai peruntukkannya, mendisiplinkan diri membuang sampah pada tempatnya, mengelola yang masih bisa didaur-ulang dan masih banyak lagi yang bisa diperbuat.
Pernah sang bunda melihat di sebuah kanal televisi tanah air, ada sebuah program tentang orang-orang yang kreatif memanfaatkan limbah atau barang-barang yang sudah tak berguna. Sekali waktu ditayangkan bagaimana seorang ibu rumahtangga yang prihatin karena di sekitarnya banyak sampah kaleng bekas susu. Terbitlah ide untuk mengelolanya menjadi barang bermanfaat. Ibu tersebut mulai mengumpulkan kaleng-kaleng di sekitar komplek rumahnya lalu membersihkan dan menyulapnya dengan aneka lukisan yang cantik sehingga ia menjadi wadah dengan banyak kegunaan seperti untuk tempat menyimpan pensil, tempat menyimpan mainan anak-anak bahkan bisa menjadi keranjang sampah yang lucu dan unik.
Di lain kesempatan masih dalam program di kanal tersebut, ada seorang bapak yang memanfaatkan kepingan CD bekas dan dengan kreativitasnya menyulap benda tersebut menjadi berbagai macam souvenir dan wadah bermanfaat. Ada pula seorang ibu yang memanfaatkan kertas-kertas bekas termasuk koran dan menyulapnya menjadi kertas kado yang sangat indah. Ada juga yang memanfaatkan eceng gondok dan menyulapnya menjadi berbagai macam tas, serta masih banyak lagi orang yang dengan kreativitas dan kepeduliannya terhadap lingkungan, mereka tak hanya dapat mengurangi limbah sampah tapi juga bisa mendulang rezeki bahkan membuka lapangan pekerjaan baru.
Sang bunda tak hendak menyesali jawabannya ketika sang buah hati mempertanyakan sikap remaja berseragam putih-abu itu. Betapapun ia merasa malu saat putranya membandingkan kebersihan di negeri orang yang mayoritas penduduknya tak beriman kepada Allah dengan negeri yang sebaliknya. Ia merasa mendapatkan sebuah hikmah dari dialog dengan buah hatinya tersebut.
***
Semoga usai membaca tulisan ini kita tidak bersikap sebagaimana remaja yang mendapat teguran anak kecil itu yang dengan acuhnya melenggang, tak peduli. Meminjam slogan yang dihidupkan seorang kyai ternama di negeri ini: mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang kecil dan mulai dari sekarang, mari kita biasakan buang sampah di tempatnya. Mari kita buktikan salah satu rasa keberimanan kita kepadaNya. Sungguh, Allah Maha Melihat sekecil apa pun kebaikan yang kita perbuat.
(Ide tulisan di atas sama dengan artikel Ketika Kautsar Bertanya. Kembali saya tulis karena prihatin melihat “lautan” koran bekas alas sajadah yang ditinggalkan begitu saja di jalanan oleh pengguna, usai shalat Idul Adha)
Berbagi di dakwatuna
ilustrasi: cybermq.com