Di setiap memasuki bulan Dzulhijah, kita akan kembali teringat atau diingatkan pada sosok manusia-manusia pilihan Allah di mana Dia menjadikan ritual haji dan qurban sarat berbagai pelajaran berharga.
Diantara gema takbir yang berkumandang malam ini, saya jadi teringat akan peristiwa beberapa waktu lalu yang membuat diri ini sangat malu padaNya ketika menyelami keindahan pribadi nabi Ibrahim beserta isterinya ibunda Hajar dan tentu saja puteranya yang shaleh, nabi Ismail.
Tetapi tulisan ini tidak akan mengurai ketiga sosok teladan tersebut melainkan satu episode kekeliruan yang pernah terjadi dalam hidup saya di saat belajar menjadi orang tua.
Harapan dapat mendidik anak menjadi pribadi yang shaleh adalah sebuah asa kami yang saya yakini pasti setiap orangtua mengharapkannya tersemat dalam pribadi putra-putri mereka. Namun dalam perjalanan meretas asa tersebut, bukan suatu hal mustahil jika kita sebagai orangtua terjerembab dalam kealpaan.
Sebuah kekeliruan sikap yang tidak saya sadari sebelumnya dan sepertinya tidak akan pernah saya sadari saat belajar mewujudkan harapan itu bila bukan karena sifat Maha Pengasih dan PenyayangNya, Allah mengingatkan saya melalui suatu kejadian di sebuah senja bergerimis.
***
Senja itu hujan belum juga berhenti hingga adzan maghrib berkumandang. Saya lihat ada ragu tersirat di wajah suami. Kebiasaan shalat di masjid tiap kali adzan berkumandang, sepertinya saat itu tidak akan dilakukannya dan hampir saja ia memutuskan untuk berjamaah di rumah.
“Ayah, ayo kita berangkat ke masjid!” dengan suara riang penuh semangat putri kecilku menarik tangan ayahnya.
“Kita shalat di rumah aja ya sayang!” ucap saya karena melihat suamiku masih terlihat menimbang-nimbang kemungkinan menerabas hujan untuk bisa berjamaah di masjid.
“Tapi, aku pingin shalat di masjid!” putriku masih bertahan dengan keinginannya.
“Lihat, hujannya masih turun, Nak! Kalau kehujanan bisa terkena pilek”, kuungkapkan kekhawatiranku dengan intonasi yang lebih ditekan sambil membuka pintu memperlihatkan masih berderainya hujan, berharap putriku mengerti kenapa keinginannya shalat berjamaah di masjid saat itu tak dapat dilakukan.
Sesaat putriku terdiam, matanya memandang ke luar pintu, rinai hujan lebih terdengar…sepertinya ia akan menuruti perkataan saya, namun tiba-tiba ia tersenyum dan segera berbalik ke kamar. Tak lama kemudian ia mengacungkan jaket hujan miliknya.
“Aku pakai jaket ini biar bisa ke masjid!” seraya tersenyum senang ia meminta tolong saya untuk memasangkan jaket itu di atas mukena yang telah membalutnya.
Ayahnya memberi isyarat padaku untuk mengikuti apa yang diinginkannya, sambil berkata “Ayo, kita jadi berangkat!”.
Tak ayal ajakan tersebut membuat si putri kecil dan kakaknya berjingkrak riang dan bergegas menyusul ayahnya. Tinggal saya termangu menatap mereka menerabas gerimis hujan menaiki sepeda motor menuju masjid.
Usai melaksanakan shalat maghrib, saya terpekur mengingat kembali apa yang baru saja terjadi. Ada lintasan perasaan bersalah melingkupi hati. Ketegasan sikap putriku atas keinginannya melakukan suatu kebaikan, menyentak kesadaran diri bahwa ada kekeliruan yang tengah saya lukis dalam “kanvas bersih” hatinya.
Saya mengatakan hal ini sebuah kekeliruan karena di tengah semangatnya melakukan kebaikan yang tertahan suatu kendala, saya bukan mencari solusi agar niat itu dapat terlaksana, malah mengungkapkan kekhawatiran yang saya jadikan alasan menahan keingiannya. Bukankah hal ini justeru dapat mematahkan semangatnya? Dan, tanpa saya sadari sebenarnya sikap saya tersebut dapat menumbuhkan dalam dirinya sikap mudah menyerah ketika niat baik berhadapan dengan suatu atau beberapa rintangan.
Deru motor memasuki halaman rumah disusul suara riang anak-anak mengucap salam, memutus doa dan permintaan maaf yang sedang kupanjatkan padaNya. Putriku segera menghambur dalam pelukan sambil bertutur jenaka tetap dengan keriangan khas anak kecil, “Bunda lihat, mukaku basah kena hujan!” senyumnya mengembang menutupi mukanya yang putih pucat kedinginan.
Saya peluk tubuh mungilnya dalam haru yang sangat, lalu saya ucapkan maaf dan terimakasih padanya atas sebuah pelajaran yang saya dapatkan senja itu.
Ketika memeluk dan menatap kejora di mata putriku, serasa membaca ketegaran bunda Hajar saat ditinggalkan Nabi Ibrahim di tengah padang tandus hanya berbekal keimanan padaNya. Keyakinan bahwa apa yang terjadi pada dirinya adalah karena semata perintah Allah terhadap suaminya menyebabkan ia tak mudah menyerah pada keadaan. Ia berlari bolak-balik sampai 7 kali di jalan yang sama demi mencari solusi untuk menghentikan tangis bayi Ismail yang didera kehausan. Hal yang menjadikan Allah kemudian menurunkan air zam-zam dari hentakan tumit kaki bayi Ismail yang mengalir hingga kini.
***
Senja itu, sebuah pelajaran kembali saya dapatkan dari anak-anak diantara sekian banyak pelajaran yang telah ditorehkan mereka selama lima tahun kebersamaan saya membesarkannya. Ya, dari mereka ternyata saya banyak mendapat lautan ilmu terutama dalam hal ketulusan memaafkan sebagaimana sifat anak-anak yang tak pernah mendendam, keramahan dengan sifatnya yang selalu tersenyum tulus dan ceria, kedermawanan dengan sifat mudah dan selalu berbagi apa yang mereka miliki, kreatif dan satu hal tadi, pantang menyerah. Kebersamaan dengan mereka, mengajarkan pula pada diri saya akan makna pengorbanan, keikhlasan dan kesabaran dalam membimbing tumbuh kembang mereka.
Sekalipun sangat jauh dibandingkan dengan pribadi mulia bunda Hajar, tetap tercanang dalam hati semoga interaksiku dengan anak-anak mengantarkan diri saya memiliki kepribadian seindah pribadi bunda Hajar. Amiin…
Berbagi di dakwatuna