Seorang nenek terus menjerit dan meronta-ronta tak rela dirinya ditangkap dan di seret ke mobil penampungan. Namun para lelaki berpakaian seragam itu bagai tak kenal ampun. Lebih miris lagi ketika seorang bocah ditangkap dengan cara yang serupa. Sama halnya dengan nenek tadi, bocah tersebut juga menangis histeris, membuat hati saya pilu.
Itulah sebuah tayangan video dari kanal berita yang sempat saya saksikan beberapa waktu lalu tentang bagaimana para aparat penertiban berhasil menciduk ‘para pengemis musiman’. Hampir setiap hari di bulan penuh keberkahan ini berita serupa menyeruak di layar TV.
Kejadian di atas menimbulkan tanya dalam hati, mengapa selalu ada razia tersebut di setiap bulan suci Ramadhan? Mungkinkah hal ini karena di saat tersebut pada umumnya umat Islam sedang bergiat dan bersemangat melakukan banyak amal kebajikan termasuk dalam hal berderma atau bersedekah?
Sebagaimana Rasulullah saw. telah memberikan teladannya bagi kita mengenai hal tersebut.
Dalam sebuah hadits, Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas ra. berkata, “Rasulullah saw adalah manusia paling dermawan dan lebih dermawan pada bulan Ramadhan ketika Jibril menemuinya untuk mengajari Al-Qur’an di setiap malam pada bulan itu. Kedermawanan Rasulullah saw pada saat itu lebih baik dari angin sepoi-sepoi” (angin yang bertiup terus menerus dan bermanfaat).
Demikian juga dengan hadits riwayat Baihaqi dari Aisyah ra.,”Rasulullah saw jika memasuki bulan Ramadhan, beliau membebaskan tawanan dan memberi setiap orang yang meminta”.
Adakah keadaan ini menjadikan sebagian orang menganggap bulan Ramadhan sebagai peluang untuk mendulang uang dengan cara mengemis?
Saya jadi teringat dua orang sahabat saya di Berlin. Tak pernah saya sangka sebelumnya, ternyata di ibukota negara tempat di mana pernah berdiri tembok penyebab tragedi kemanusiaan ini, Allah justru mendidik saya bagaimana menumbuhkan rasa saling menyayangi melalui kehadiran mereka dalam episode hidup saya. Berinteraksi dengan mereka, bagi saya telah menggoreskan kesan yang sarat dengan pelajaran berharga.
Sebutlah salah seorang dari mereka sebagai Salma. Ia seorang muslimah Irak yang
datang ke Berlin untuk mendampingi suaminya studi program Doktor atas beasiswa pemerintah Jerman. Saya mengenalnya ketika seorang sahabat dari Indonesia mengenalkan saya padanya. Alhamdulillah, kami bertiga tinggal di apartemen yang sama.
Sejak perkenalan itu, hampir setiap hari Salma datang ke tempat saya. Terkadang sebelum berangkat atau sepulang dari kursus bahasa Jerman di Anton Strasse yang letaknya tak jauh dari tempat tinggal kami. Setiap kali datang, ada saja yang dibawa Salma. Seringkali ia membawa makanan khas Irak yang dimasaknya sendiri. Terkadang ia membawa buah tangan lainnya yang mungkin bagi sebagian orang merupakan sesuatu yang remeh, berupa jepit atau ikat rambut, bros, kaus kaki dan lain-lain.
Tak hanya sebatas itu yang dilakukan Salma, waktu dan ilmu pun ia berikan. Di sela kesibukannya mengajar di sebuah Islamic center di daerah Dronheimer Strasse, ia masih meluangkan waktu satu hari dalam seminggu demi memenuhi permintaan saya dan sahabat yang telah mengenalkan saya padanya untuk belajar bahasa Arab. Dengan sepenuh hati ia mengajari kami bahasa tersebut dengan tekun dan sabar.
Ada satu momen yang selalu saya ingat. Saat itu seperti biasa kami berkumpul di rumahnya untuk belajar bahasa Arab. Tiba masanya kami rehat, Salma menghidangkan masakan spesial yang ia tujukan untuk syukuran akan kehadiran janin di rahim saya. Benar-benar tidak saya sangka, Salma yang lama merindu kehadiran buah hati, memberi kejutan ini untuk saya.
Seorang lagi sahabat saya, sebutlah ia Sabrina, adalah seorang mualaf berkebangsaan Jerman yang telah menikah dengan seorang dokter dari Yaman dan saat itu telah dikaruniai seorang balita yang tampan. Saya mengenalnya pertama kali saat belajar bahasa di tempat Salma. Sabrina diajak Salma untuk bergabung dengan kami.
Sabrina memiliki warna kepribadian tak jauh berbeda dengan Salma. Tiap kali ada kesempatan silaturahim ke tempat Salma, ia akan selalu sempatkan pula datang ke tempat saya dan berbuat hal yang sama dengan Salma.
Pernah suatu ketika saat saya terbaring sakit hanya ditemani si sulung yang baru berumur 1 tahun. Mereka berdua datang sambil membawa sesuatu yang mereka sebut kejutan untuk saya. Mereka berharap saya senang menerimanya dan meminta saya untuk membukanya saat itu juga.
Tak tega menolak segala perhatiannya, saya pun memenuhi permintaan mereka. Ternyata Salma menghadiahi saya sebuah mantel kashmir berwarna hitam, yang pastinya akan sangat nyaman saat dipakai musim gugur maupun musim dingin. Sementara itu Sabrina membawakan saya sehelai gamis berwarna coklat muda, membuat saya terkenang pada perjumpaan pertama dengannya (dimana saat itu ia mengenakan gamis serupa berwarna hijau muda dibalik mantel kashmir hijau tua dan balutan jilbab hijau muda yang membuat kecantikannya terpancar anggun).
Ketika mereka melihat pemberiannya itu terlalu besar untuk tubuh saya, Sabrina dengan segera mengukur tubuh saya dan berjanji akan memotong sekaligus menjahitkan kembali hingga akhirnya saya bisa memakainya. Subhanallah! Luar biasa perhatian dan kasih sayang mereka berdua. Saya benar-benar merasakan manisnya buah ukhuwah.
Dan satu kebiasaan lain dari mereka yang saya kenang, yaitu usai mengucap salam ketika kami berjumpa maupun berpisah, tak pernah terlewat dari lisan keduanya kalimat cinta, “Ana uhibbuki fillah, Ukhti!”, membuat saya terharu dan hanya mampu mengucap hal yang sama.
Dalam suatu kesempatan berbincang dengan Salma, saya mohon padanya supaya ia dan Sabrina tak perlu repot-repot membawakan buah tangan bila datang ke tempat saya. Dengan tersenyum ia menjawab, “semua yang kulakukan ini karena dalam hadits riwayat Ath-Thabrani, Rasulullah saw., berwasiat ”Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah setelah amal fardhu, yaitu memberikan kegembiraan pada orang muslim”, juga dalam hadits lain Rasulullah saw., berkata, “bahagiakan dirimu dengan membahagiakan orang lain.”
Subhanallah! Jawabannya yang disandarkan pada hadits tentang ahlak mulia Rasulullah saw ini, benar-benar berkesan di hati saya. Untuk kesekian kalinya rasa haru membuncah dan saya catat di hati sebagai sebuah pelajaran berharga. Bercermin pada kebiasaan mereka yang selalu berusaha memberi dan membahagiakan orang lain dengan tulus, saya merasa masih harus banyak berlatih untuk dapat berbuat demikian, bagaimana dengan Anda?
Ramadhan memberi kesempatan banyak bagi kita untuk mengasah kepekaan dan kepedulian terhadap sesama terutama kepada para dhuafa, bersama mereka berbagi rezeki yang Allah titipkan pada kita, juga terus belajar membahagiakan diri dengan cara membahagiakan orang lain. Ramadhan bisa menjadi awal pembiasaan bagi kita untuk mengamalkan hadits yang menjadi landasan Salma dan Sabrina dalam mengekspresikan rasa peduli dan kasih sayang mereka pada sesama.
Bila setiap kita bisa berbuat demikian tak hanya sebatas Ramadhan, melainkan terus menerus hingga menjadi kebiasaan yang mendarah daging, semoga tayangan razia pengemis di setiap Ramadhan tiba, tak akan pernah kita lihat lagi, amiin.
Wallahu’alam.
Berbagi di eramuslim