Pada suatu kesempatan berdiskusi ringan dengan para ibu yang mengantarkan putra-putrinya belajar baca qur’an, saya melontarkan sebuah pertanyaan.
“Ibu-ibu yang saya cintai, apa yang paling sulit dikendalikan dari diri ibu?”
Suasana hening sejenak, mereka terlihat termenung memikirkan sesuatu, lalu tak berapa lama mereka bergiliran menjawab.
“Saya paling sulit mengendalikan marah”, jawab seorang ibu yang mendapat giliran pertama menjawab.
Seolah telah terjadi kekompakan, jawaban mereka ternyata senada, ada yang ekspresif penuh gelora saat menyampaikan jawabannya, ada juga yang malu-malu.
“Bagaimana ya Mbak kiat agar bisa menahan atau meredamnya, rasanya dalam kehidupan saya tiada hari tanpa amarah yang terluapkan?”, tanya seorang ibu.
Belum sempat saya menjawab, ibu tersebut rupanya masih ingin meneruskan apa yang ia pikirkan. Dengan mimik muka yang lebih serius, beliau menyampaikan perasaannya.
“Saya kok seperti mempermainkan janji pada Allah, sehabis marah saya beristighfar memohon ampunan atas amarah yang saya perturutkan, tapi tak berapa lama berselang hanya dalam hitungan menit bukan dalam hitungan hari, saya kembali melakukan hal yang sama: meluapkan amarah lagi”, urainya panjang lebar.
Semua ibu-ibu yang hadir tersenyum dan mengangguk, saya tak berani menduga apa arti dari senyum dan anggukan mereka. Apakah merasa pertanyaan sang ibu tadi mewakili yang dirasakan mereka juga atau sebagai sebuah ungkapan memahami perasaan sang ibu yang bertanya.
Tak berapa lama, ibu-ibu yang lain pun melontarkan perasaan yang menyebabkan terpicunya reaksi marah mereka, seperti kesal karena suami tidak mengapresiasi upayanya membuat suasana rumah bersih dan nyaman, tersajinya hidangan makanan yang bervariasi dan menggugah selera, juga tak mempedulikan bagaimana sang ibu telah berusaha sedemikian rupa tampil cantik untuk suaminya. Ada juga yang kesal karena ulah buah hatinya, dan lain-lain. Tetapi umumnya para ibu merasa amarah lebih sering terjadi karena dan pada orang terdekat.
Suasana kembali tenang setelah berbagai perasaan mereka tertumpahkan saat itu, kini seluruh mata menatap saya menanti jawaban.
Melihat isyarat itu, saya mengawali jawaban dengan menyampaikan bahwa pertanyaan yang sebelumnya saya ajukan adalah merupakan tema yang ingin disampaikan pada kesempatan tersebut, yakni tentang menahan marah.
Selanjutnya, saya pun mulai menguraikan sedikit yang saya pahami sambil berharap dalam hati semoga Allah membimbing diri saya juga para ibu yang hadir saat itu untuk dapat menyelami lebih dalam ajaran agama yang sempurna ini.
“Ibu-ibu yang dirahmati Allah, tak hanya ibu-ibu yang merasakan itu, saya sendiri juga orang yang harus selalu belajar dan terus belajar dari waktu ke waktu untuk dapat menahan marah. Amarah merupakan suatu tabiat yang sulit untuk dikendalikan. Oleh karena itulah Allah menjadikan orang yang mampu menahan amarahnya sebagai salah satu ciri orang yang bertakwa”.
Sejenak saya berhenti, kemudian mengajak mereka membuka qur’annya masing-masing dan membuka surat Ali Imran ayat 133-134. Seorang ibu membacakan arti ayat yang dibaca.
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS.3:133-134).
“Di samping itu ibu-ibu, Allah juga memberi pahala kepada orang yang dapat menahan amarahnya lalu memaafkan mereka yang menyakitinya”, lanjut saya seraya membacakan arti sebuah ayat yang masih berkaitan dengan hal tersebut.
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas tanggungan Allah. Sesungguhnya dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim”(QS.Asy Syuura:40).
Mengenai kiat menahan amarah yang ditanyakan mereka, saya pun mencoba mengajak ibu-ibu untuk selalu mengingat kedua ayat tersebut saat rasa marah mulai menguasai hati disamping mencoba mengalihkan perasaan hendak marah itu dengan segera beristighfar dan merubah posisi kita. Berwudhu juga sebuah upaya lebih baik lagi yang dapat dilakukan untuk menenangkan hati.
Saya tambahkan pula untuk menjadi latihan bagi kami semua yaitu mengenali saat-saat letih diri sendiri, pasangan maupun anak kemudian menghindari untuk menyampaikan sesuatu yang tidak kita setujui dari mereka pada saat tersebut atau dengan kata lain menunda sampai suasana nyaman untuk berbicara atau menumpahkan segala yang menjadi uneg-uneg. Dan terakhir, saya sampaikan untuk diri saya dan mereka bahwa kita harus terus-menerus berusaha memahami karakter serta memperbanyak dialog dengan pasangan maupun anak. Hal tersebut perlu ditingkatkan untuk mengikis hambatan-hambatan komunikasi yang sering menjadi bola salju “kemarahan” yang siap meluncur sewaktu-waktu.
Saat ini, rasanya tak sabar ingin segera berkumpul kembali dengan para ibu, karena kami bersepakat untuk berlatih menahan amarah dan menceritakan pengalaman masing-masing saat pertemuan berikutnya.
Berbagi di eramuslim