Subhanallah walhamdulillah wallahu Akbar! untaian kata itu saja yang mampu terucap saat membuka tirai jendela pagi tadi. Di luar sana, dedaunan hijau terselimuti putihnya salju, demikian pula tanah di sekitarnya. Dalam kekaguman memandang Maha KaryaNya, seraut wajah dengan senyuman yang menampakan deretan gigi seputih salju kembali berkelebat.
Hingga saat ini, saya tak mengenal langsung si pemilik senyum seindah salju itu. Namun entah kenapa, tiap turun salju wajahnya selalu membayang. Hal ini mungkin dikarenakan saat pertamakali saya mengetahui keadaan dirinya berbarengan dengan pertamakalinya di tahun lalu salju kembali menyapa Berlin.
Saat itu pertengahan bulan November sekitar jam 10 kurang 10 menit, saya sudah sampai di masjid untuk menunaikan sebuah janji dengan sekelompok mahasiswi Indonesia yang rutin berkumpul mengaji tiap minggu pagi. Sambil menanti kehadiran mereka, saya melihat-lihat deretan buku di rak perpustakaan masjid. Sebuah majalah Islam* yang dulu sering saya baca saat di Indonesia, menarik perhatian saya. Disamping rasa rindu karena lama tak membaca majalah tersebut, saat saya membolak-balik isinya, minat untuk membaca bertambah kuat manakala sebuah perjalanan hidup seorang muslimah yang berjuang menghadapi ancaman kanker sumsung tulang belakang berhasil menggelitik rasa penasaran saya.
Usai pertemuan dengan para mahasiswi pada jam 12 lebih 15 menit, segera saya bergabung dengan sekelompok ibu-ibu yang telah menanti di ruang perpustakaan masjid. Kami biasa berkumpul dan berdiskusi seputar Islam dan pendidikan anak atau keluarga sebagai bentuk memanfaatkan waktu menunggu anak-anak yang belajar al-Qur’an bersama gurunya.
Hari itu kami berencana mengupas topik memaknai ujian hidup. Setelah diawali tilawah dari seluruh ibu disertai pembenahan cara membacanya, saya yang mendapat amanah memandu kegiatan tersebut mulai membuka diskusi dengan melemparkan sebuah pertanyaan apa yang mereka ketahui tentang ujian hidup beserta pengalaman mereka menyikap hal tersebut.
Maka mengalirlah kisah beberapa ibu-ibu, diantaranya seorang ibu dari Malaysia dengan suara bergetar, terbata-bata menuturkan perasaannya yang merasa hingga saat ini berat menjalani kehidupan di Berlin. Semua ibu yang hadir mengangguk-angguk tanda membenarkan atau sependapat dengan pernyataan ibu Malaysia tersebut, bahwa di awal-awal menjalani kehidupan di luar negri ternyata bukan sesuatu yang mudah, jauh dari yang dibayangkan.
Kemudian ada pula seorang ibu berkebangsaan Bangladesh (satu-satunya peserta yang tak memahami bahasa Indonesia) turut menyampaikan dalam bahasa Jerman pendapat berikut pengalaman pahitnya menjalani ujian hidup. Sang ibu merasa kuat menghadapi beratnya cobaan karena selalu ia sandarkan segala yang terjadi dan memohon pertolongan hanya kepada Allah.
Belum semua ibu menuturkan pengalamannya karena keterbatasan waktu yang ada, tetapi semua yang hadir menyampaikan pendapatnya bahwa ujian hidup identik dengan kesulitan atau penderitaan. Mereka baru menyadari bahwa ujian hidup tak selalu berupa hal yang menyusahkan setelah saya sampaikan pada mereka bahwa kesenangan hidup, kemudahan rezeki, melimpahnya materi dan segala sesuatu lainnya yang membahagiakan diri kita juga merupakan ujian dari Allah, akankah kita menjadi hamba yang bersyukur atau lalai dari mengingatNya.
Selanjutnya saya mencoba mengajak mereka untuk lebih fokus pada bagaimana upaya menyikapi semua ujian hidup yang dijalani. Saya mengawalinya dengan memperlihatkan sebuah foto dari majalah yang saya baca sebelumnya. Setelah mengamati beberapa detik ekspresi foto tanpa memperhatikan judulnya, mereka berpendapat muslimah dalam foto tersebut adalah orang yang sangat bahagia.
“Maukah ibu-ibu saya ceritakan siapa gerangan muslimah ini?” tanya saya. Serentak mereka mengangguk.
“Haaah?!” beberapa ibu terperangah dan tak mampu menahan ekspresi kebingungannya ketika baru saja saya mulai menuturkan kisah bahwa ia adalah seorang yang divonis dokter penentuan sisa usianya adalah September lalu akibat kanker sumsum tulang belakang yang dideritanya selama ini.
Saya memaklumi ekspresi keheranan mereka saat itu karena foto tersebut menampilkan seraut wajah berjilbab dengan senyum terkembang menampakkan sederet giginya yang putih, terlihat begitu bahagia, terasa kontras dengan serangkaian kalimat pernyataan dokter tentang nasib dirinya.
”Ibu-ibu pasti penasaran kan, kenapa muslimah ini terlihat begitu bahagia?” kembali saya melontarkan pertanyaan yang segera disambut dengan anggukan tak sabar dari mereka.
Saya pun mulai menuturkan perjalanan hidup muslimah tersebut.
Semenjak kecil berbagai kesulitan telah akrab dalam kehidupannya. Ia tinggal bersama orangtuanya dalam keadaan selalu berpindah-pindah dari satu lahan ke lahan lainnya di kawasan Cibinong. Ayahnya menawarkan jasa pada pemilik lahan untuk menggarap lahannya dan meminta ijin mendirikan tempat tinggal di lahan tersebut. Rumahnya hanyalah sebuah gubuk dari triplek dengan sedikit batu di bagian bawahnya, atapnya dari rumbia, plastik, asbes dan seng bekas.
Karena termasuk anak yang pintar, ia mendapat beasiswa dalam menyelesaikan studinya sejak SD hingga SMU. Namun usaha ia meringankan kesulitan orangtuanya tak berhenti sampai di situ. Selama rentang studinya itu, ia pun tak segan-segan membawa karung berisi sayur mayur dan hasil kebun lainnya dari lahan yang digarap ayahnya untuk kemudian digelar di depan kantor guru.
Tak berapa lama setelah lulus SMU, ia pun menikah. Ia berusaha tak mengeluh ketika mengetahui ibu mertua tak menyukainya bahkan membuat aturan melarang ia tinggal bersama suaminya. Maka sekalipun telah menikah, mereka tidak setiap hari bertemu. Suaminya saat itu tak sampai hati menolak ultimatum ibunya, mereka hanya berharap suatu saat nanti akan terjadi perubahan sikap pada diri ibunya.
Sambil menjalani kehidupan rumahtangga seperti itu, ia dan suaminya meneruskan studi. Ia mendapatkan beasiswa untuk kuliahnya sedangkan untuk biaya kuliah suaminya ia membantunya dengan cara (disamping tetap berjualan), bekerja menjadi guru di sebuah SMP dan merawat pasangan manula yang lumpuh. Ia ikhlas membantu biaya kuliah suaminya karena ia ingin menjadi isteri yang berbakti, meringankan dan ridha dengan kekurangan suaminya. Ia berpikir, bila suaminya lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan, mereka dapat memulai hidup sebagaimana layaknya sebuah keluarga. Ia sendiri memutuskan berhenti kuliah pada semester enam dengan pertimbangan agar bisa fokus bekerja.
Namun ternyata harapannya kandas karena di masa akhir kuliahnya, sang suami justeru menyampaikan berita bahwa dirinya tengah menjalin hubungan dengan perempuan lain dan berjanji menikahinya. Sang suami mengaku pada perempuan tersebut belum pernah menikah, padahal saat itu pernikahan mereka telah memasuki tahun ke lima dan sudah dikaruniai seorang anak. Hubungan suami dan perempuan itu terus berlanjut sekalipun sang perempuan belakangan mengetahui keadaan yang sesungguhnya bahkan telah sempat berjumpa dengan ia dan anaknya. Pada akhirnya sekalipun berat ia mengikhlaskan suaminya untuk menikah lagi dengan mengajukan syarat agar suaminya mengakui ia sebagai isteri pertamanya dan meminta sang suami untuk membuatkan akta lahir untuk anaknya, karena dulu mereka menikah di bawah tangan.
Saat diguncang prahara rumah tangga itulah, keadaan dirinya didiagnosa mengidap kanker stadium lanjut yang mengharuskan ia menjalani kemoterapi , radiologi dan berbagai obat-obatan. Di samping itu dokter memintanya untuk memperhatikan faktor psikologis agar tenang dan stabil sebagai upaya melawan penyakitnya. Hal yang sulit dilakukannya pada saat itu. Pertahanan jiwanya ambruk di saat hari pertama menjalani kemoterapi dan radiologi, suaminya melangsungkan pernikahan dan mengabaikan syarat yang ia ajukan. Kondisi tubuhnya semakin memburuk sampai mengalami kelumpuhan selama berbulan-bulan dan harus menggunakan kursi roda.
Setelah berkutat cukup lama dalam kesakitan terutama sakit psikologis, akhirnya ia berkeinginan untuk bangkit. Salah satu pendorongnya adalah karena begitu besarnya keinginan ia untuk merawat anak dengan sebaik-baiknya. Tekad ini membuahkan hasil, ia mulai banyak membaca buku agama dan mencatat berbagai hadits yang membangun kekuatan. Membacanya berulang-ulang. Jika kesedihan mulai menekan, ia berwudhu dan melakukan shalat dan shalat, hingga merasa lelah dan tertidur.
Dari waktu ke waktu kondisinya berangsur membaik dan berusaha tetap optimis meskipun dokter mengatakan bahwa pada September (2008) lalu, merupakan penentuan apakah tubuhnya akan bertahan dari penyakit tersebut atau kalah.
Dalam masa “penantiannya” itu, ia tetap bekerja sebagai pengumpul kertas bekas dan memiliki 20-an anak buah di gudang yang disewa di Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Ia masih menyimpan harap ingin menjadi ibu yang baik untuk anaknya dan ingin jadi orang yang bisa berguna untuk orang lain.
Kata-kata bertenaga yang masih saya ingat sampai sekarang (sebenarnya ia tujukan untuk dirinya sendiri) adalah “saya masih muda dan semua ujian ini insya Allah sangat besar hikmahnya. Dengan mengalaminya sekarang, insya Allah saya justru beruntung, karena bisa belajar menjadi orang yang sabar. Ucapan dokter bahwa September nanti „penentuan“ bagi saya, saya jadikan penggeber untuk terus melakukan pengobatan sekaligus belajar pasrah. Karena hasil dan keputusan semuanya di tangan Allah, dan insya Allah jika berusaha maksimal, saya optimis akan ada jalan yang terbaik”.
Usai menceritakan kisah hidup muslimah tersebut, para ibu yang menyimak merasa “tercerahkan”. Sengaja saya tak menyimpulkan, karena saya yakin para ibu tersebut sudah bisa menangkap benang merah penyikapan muslimah tersebut hingga kami bisa melihat ketegaran dan sikap optimisnya terpancar dalam foto saat ia diwawancarai wartawan majalah Islam itu.
——-
Kini, saat menyusuri jalanan yang diliputi hamparan salju, saya merasa kemanapun mata ini melayangkan pandangan, senyum dan kata-katanya selalu mengikuti. Saya meyakini, hatinya pun “seputih salju” sebagaimana senyum terkembangnya. Rasa penasaran akan kelanjutan nasibnya pun menggelayut menjadi sebuah tanda tanya besar, seperti halnya para ibu yang hampir setiap bertemu dengan saya ada saja yang menanyakan keadaan muslimah tersebut.
“Apa kabarmu pemilik senyum dan hati seputih salju?” Semoga rahmat dan kasih sayang Allah terlimpah untukmu. Apapun yang terjadi saat ini padamu, semoga itu adalah yang terbaik untuk hidupmu dan buah hatimu juga orang-orang di sekitarmu.
Awal Januari 2009
Salam penuh cinta dan persaudaraan dari kami di Berlin
*Sumber : majalah Tarbawi Edisi 180 Th.9/ Jumadats Tsaniyah 1429H/5 Juni 2008 M.
Berbagi di eramuslim
3 comments for “Apa Kabar Pemilik Senyum dan Hati Seputih Salju”