Hari Minggu lalu ada nuansa yang berbeda dari minggu-minggu sebelumnya di masjid. Setelah shalat Dzhuhur, salah seorang pembina keislaman remaja meminta kepada jama’ah untuk menjadi saksi bagi seorang pria Jerman yang akan masuk Islam siang itu. Tak lama kemudian beliau membimbing pria yang ada di sampingnya mengucapkan kalimat syahadat. Pekik takbir terucap dari seorang pria Jerman yang mengantar temannya yang bersyahadat itu. Serentak kami pun menyambut takbir tersebut dengan sepenuh rasa. Ada bias-bias bahagia di raut wajah sang mualaf dan pancarannya menyebar ke wajah-wajah jama’ah yang ikut bahagia dengan keharuan terucap di mata mereka yang berkaca-kaca.
Para jamaah pria memeluk dan menyalami Tobias sang mualaf usai pembimbing syahadat tadi memimpin jama’ah berdoa untuknya. Sementara itu secara spontan sebagian jama’ah wanita sibuk menghidangkan penganan sebagai wujud mensyukuri karuniaNya pada kesempatan tersebut. Hari itu masjid menjadi tempat seorang manusia mengucapkan ikrar saat menemukan jalan hidup yang sesungguhnya, sekaligus menjadi tempat diketuknya pintu-pintu hati jama’ah untuk mensyukuri nikmat iman Islam yang disandang selama ini.
Usai syukuran kecil, jama’ah yang sebagia besar remaja peserta kajian rutin Islam dalam bahasa Jerman juga anak-anak yang belajar baca al-Qur’an beserta orangtuanya dan para guru kembali disibukkan dengan aktivitas belajar-mengajar. Hari itu masjid menjadi tempat berkumpul jiwa-jiwa yang semangat mendekat kepadaNya.
Beranjak sore, orangtua murid TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) bertambah banyak. Hari itu memang para guru mengundang seluruh orangtua untuk hadir dalam rapat dengar pendapat yang rutin mereka adakan. Para orangtua begitu antusias menyampaikan pendapat, ide dan harapannya kepada para guru untuk kebaikan anak-anak mereka. Hari itu masjid menjadi wadah dialog para pendidik di dalam dan di luar rumah yang serius berupaya mencari metode agar terbentuk pribadi-pribadi shaleh yang tangguh menghadapi arus budaya Barat yang kapan saja dapat mengikis warna Islam dalam diri anak-anak dan remaja tersebut.
Suasana masjid semakin semarak saat menjelang maghrib, karena hari itu masjid kembali menjadi wahana berkumpulnya masyarakat muslim Indonesia setiap akhir bulan untuk menambah wawasan dan pemahaman mereka tentang Islam di samping ajang silaturrahim. Lebih dari seratus orang berkumpul memenuhi seluruh ruang masjid yang tak seberapa besar itu.
Masjid beserta jama’ah yang ada di dalamnya pun menjadi saksi saat sebuah acara spesial diadakan malam itu selepas ceramah. Atas usulan seorang jama’ah yang disetujui pengurus masjid, maka pada kesempatan itu lima orang jama’ah yang baru saja berhasil meraih cita-citanya “diwisuda” ala masjid. Acara yang baru pertamakalinya diadakan di masjid ini merupakan bentuk kepedulian dan penghargaan masjid akan prestasi para jamaah juga menjadi pendongkrak semangat para pelajar lainnya untuk dapat menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh hingga terwujud harapan dan cita-citanya.
Seorang sahabat pernah menyebut masjid tempat berkumpulnya muslimin Indonesia tersebut sebagai “pondok cinta” dikarenakan masjid yang menurut penilaian seorang ustadz lebih mirip musholla itu adalah tempat berkumpulnya jiwa-jiwa yang mengharap ridha dan cintaNya. Atas dasar cinta itulah masjid ini terasa hidup dan cukup memainkan peranannya dalam dinamika umat Islam Indonesia di Jerman khususnya di Berlin baik sebagai tempat penggemblengan ahlak, tempat penambahan wawasan keislaman dan keilmuan duniawi, tempat penempaan semangat berprestasi juga sebagai tempat persatuan. Dalam hal persatuan, terasa sekali semangat gotong royong para jama’ah dalam menyokong setiap kegiatan yang diselenggarakan masjid mulai dari menyiapkan ruangan sekaligus membersihkannya, menyiapkan konsumsi atas kerjasama seluruh jama’ah ibu-ibu sampai hal-hal lainnya yang tak dapat saya sebutkan satu persatu.
Denyut aktivitas masjid sampai mengalir pula dalam relung-relung kalbu putra-putri kami. Selama bulan Ramadhan lalu, mereka enggan bermain di Kindergarten (taman kanak-kanak). Kami sampai kehabisan akal membujuk mereka agar mau bermain bersama teman-temannya seperti sedia kala. Namun kedua anak balita itu bersikeras menolak. Setiap bangun pagi, kedua balita itu selalu bertanya, “Bunda, kita ke masjid kan? Tidak main sama teman-teman kan?”
Begitu pula saat menjelang tidur mereka bertanya lagi hal yang sama. Bila jawaban saya tidak seperti yang mereka harapkan, keduanya menangis dan baru berhenti saat saya janjikan mereka boleh ikut.
Pernah suatu hari saat saya tetap mengantar mereka ke Kindergarten, sepanjang jalan mereka menangis dan berteriak-teriak menyebut-nyebut masjid.
“Aku mau ke masjid, mau belajar sama Bunda, ga mau main sama teman-teman, mau ke masjid, mau ke masjiiid”, begitu teriakan histeris mereka. Membuat hati saya jadi bimbang sekaligus terheran-heran atas kemauan yang tak biasanya itu.
Mereka seolah mengetahui kalau saat Ramadhan lalu setiap hari saya berangkat ke masjid karena di masjid saat itu tiap hari ustadz Saiful Bahri -seorang ustadz yang sedang menyelesikan program Doktor dalam bidang tafsir Qur’an di Universitas Al-Azhar Kairo, membagi ilmu dan pemahamannya pada jama’ah dalam hal mentadaburi ayat-ayat Al-Qur’an.
Pada akhirnya, saya sepakat dengan suami untuk meminta izin pada pihak Kindergarten selama Ramadhan itu dengan alasan mengambil urlaub (wisata). Maksudnya wisata ruhani, mengajak anak-anak berwisata ke masjid. Kedua anak itu tampak bahagia dapat pergi setiap hari ke masjid yang letaknya lumayan jauh dari tempat kami tinggal.
Segala puji tak terhingga pada Rabb semesta alam, yang telah memberikan kesempatan dalam episode kehidupan kami berinteraksi dengan sebuah “pondok cinta” di negeri orang. Begitu berartinya masjid dalam hidup kami, betapa kami mencintainya.
Berlin, Oktober 2008
Berbagi di eramuslim