Minggu siang saat langit diselimuti warna biru cerah, saya bergegas menuju masjid untuk menunaikan sebuah amanah yang rutin selama ini saya jalani. Ketika sampai di tujuan, sekelompok ibu muda yang biasa saya bimbing membaca al-Quran telah berkumpul di salah satu sudut ruang. Segera saya hampiri mereka sembari mengucap salam dan memeluk satu persatu wajah-wajah yang senantiasa saya rindukan itu. Tak lama kemudian kami pun membentuk lingkaran kecil dan secara bergiliran mulailah lisan para ibu muda itu melafalkan ayat demi ayat firmanNya.
Waktu terus merambat hingga tiba saatnya kami mesti menghentikan kegiatan membaca Al-Quran beserta artinya itu untuk kemudian memasuki sesi diskusi seputar pendidikan anak sesuai dengan kesepakatan ibu-ibu selama ini. Namun tiba-tiba sebuah tanya bernada keheranan meluncur dari lisan seorang ibu dengan aksen Jerman yang sangat kental.
“Warum baca al-Qurannya selesai?. Apa kalian sudah capek?.Kalau begitu silahkan kalian berhenti tapi saya mau teruskan bacaannya sendiri.”
Saya dan ibu-ibu lainnya tersenyum mendengar pertanyaan sekaligus pernyataan sikap muslimah berkebangsaan Jerman namun fasih berbahasa Indonesia ini. Kami memaklumi lontaran keheranannya itu karena ia baru kembali bergabung dengan kami setelah hari-harinya sibuk untuk menyelesaikan skripsi hingga predikat sarjana pendidikan berhasil disandangnya. Tentu saja pertanyaannya merupakan hal yang wajar terucap karena ia tak mengetahui tentang kesepakatan kami.
Segera saya jelaskan padanya tentang program kami, lalu ia mengangguk-ngangguk menandakan memahami dan setuju dengan program tersebut. Tetapi pertanyaan juga pernyataan sikapnya tadi saya pahami sebagai sebuah ungkapan semangat yang tidak saya lihat ada pada ibu-ibu lainnya. Hingga hal ini memunculkan sebuah ide di kepala saya untuk menjadi suatu tema yang menarik dikupas siang itu.
Saya mengenal muslimah berjilbab ini semenjak minggu-minggu awal saya menghirup udara bersih kota Berlin. Saat itu seorang sahabat mengajak saya untuk menghadiri taklim yang dilangsungkan di rumah muslimah tersebut. Semenjak itulah kami pun bersahabat dan bertambah akrab dari waktu ke waktu. Akan tetapi perjalanan hidupnya menemukan hidayah belum saya ketahui secara langsung dari lisannya.
Dan kesempatan untuk mengetahuinya, tiba saat ini. Saya sedikit membujuknya agar siang itu dia mau berbagi cerita kepada kami tentang perjalanannya meniti jalan kebenaran. Tak lama kemudian dia mengangguk setuju, sambil menghirup nafas dalam-dalam serta pandangan mata yang menerawang dia mulai menuturkan kisahnya.
Ia terlahir dari keluarga atheis di kota Wismar. Sebuah kota di Jerman yang letaknya tak jauh dari pantai di negara bagian Mecklenburg Vorpommen. Sejak kecil dia sudah sering bertanya-tanya dalam hati tentang hakikat penciptaan manusia berikut siapa yang menciptakan. Ia tak pernah merasa puas dengan jawaban orangtuanya begitupula dengan jawaban para guru tempat ia disekolahkan oleh orangtuanya di sebuah sekolah yang mengusung agama tertentu.
Pernah suatu hari ia menyaksikan sebuah acara pemakaman. Lalu ia bertanya pada ibunya, “apa yang terjadi setelah orang itu dikubur?” Ibunya menjawab, “tak terjadi apa-apa selain daging orang itu akan habis dimakan cacing dan sejenisnya yang bersemayam di tanah.”
Mendengar pernyataan ibunya, timbul pertanyaan dalam hatinya, “sebatas itukah manusia diciptakan? Menjalani kehidupan, menemui ajalnya lalu habis dimakan cacing-cacing tanah?.”
Nuraninya tak setuju dengan jawaban sang ibu, ia merasa yakin bahwa manusia diciptakan tidaklah sesederhana itu menjalani perannya, ia meyakini ada kehidupan lain setelah kematian di dunia, tapi ia tak tahu bagaimana cara membuktikan dugaannya ini. Begitupun dengan konsep tuhan yang diajarkan di sekolah, betul-betul tak bisa dipahaminya.
Hingga suatu hari sebuah keluarga Marroko Muslim menjadi penghuni kotanya. Muslimah Marroko dengan balutan busana muslim menggugah perhatiannya. Beruntung, muslimah Marroko tersebut sangat ramah dan terbuka sehingga ia tak ragu untuk mendekati dan bertanya banyak hal tentang tuhan dan manusia serta berbagai hal lainnya menurut keyakinan Islam termasuk pula cara berbusana kaum perempuan Islam.
Jawaban-jawaban muslimah Marroko tersebut sangat memuaskannya dan dapat meredam kegelisahan hatinya selama ini. Sejak itu ia merasa inilah jalan hidup yang mesti ia tempuh. Di usia yang belum menginjak sembilan belas tahun, ia segera mengenakan busana muslim menutup seluruh auratnya dan tak lama kemudian mengikrarkan syahadatnya dibimbing seorang ulama yang sedang berkunjung ke kotanya. Selang beberapa waktu setelah peristiwa itu, ia pun segera menyempurnakan setengah diennya menjadi isteri seorang mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di kota tersebut. Tak berhenti sampai di situ, ia terus meningkatkan pemahaman Islamnya dan sedikit demi sedikit ia praktekan. Termasuk belajar membaca al-Quran, atas gemblengan seorang muslimah Indonesia, kini ia telah lancar membacanya.
Subhanallah! Mata kami berkaca-kaca mendengar tuturannya yang ia sampaikan dengan tersendat-sendat menahan haru ketika mengurai kembali kisah masa-masa yang cukup berat dilaluinya. Sungguh teramat banyak pelajaran yang kami dapatkan pada kesempatan itu, terutama hal begitu besar rasa percayanya terhadap Islam sebagai sebuah jalan keselamatan hidup, sampai tak ada alasan baginya untuk menunda-nunda seluruh perintah dan larangan Allah, sehingga belum bersyahadat pun ia telah bersegera menutupi seluruh auratnya dan istiqamah hingga kini. Padahal, di kota kelahirannya bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk bisa menampakkan identitas kemuslimahannya.
Rasa malu membuncah pula dalam hati saya saat mengetahui kebiasaannya menjelang tidur adalah membaca terjemahan al-Quran. Menurutnya, sesibuk dan seletih apapun kondisinya, ia selalu berusaha meluangkan waktu untuk melakukan aktivitas mulia ini. Baginya, ada rasa tak tenang yang dirasakan hatinya jika tidur belum melakukan hal tersebut, Masya Allah!
Alhamdulillah, puji dan syukur tak terhingga bagiMu ya Allah! Telah Kau hadirkan seorang sahabat yang tuturannya menghentak kesadaran diri untuk terus berusaha menjadi insan yang Kau cintai.
Terimakasih wahai bunga Islam von Wismar, semoga semangatmu mendalami dan mengamalkan ajaran Islam menjalar pula dalam sanubari kami.
————————————————————-
* Warum = mengapa; von = dari
berbagi di eramuslim