“Eh, Nak!…Benar enggak sih dia seorang ustadz?.” Seorang ibu yang menghadiri pengajian rutin akhir bulan bertanya pada saya dengan rona wajah yang menunjukkan rasa tak percaya manakala sang MC menyebutkan sebuah nama berikut sekilas biodata yang akan menjadi penceramah pada kesempatan itu di masjid Al-Falah, Berlin.
“Ya benar bu, seperti yang dikatakan MC tadi, dia seorang ustadz…” jawab saya sambil tersenyum memaklumi keheranan sang ibu.
“Apa di Indonesia dia juga suka ngisi ceramah?.” ibu tersebut masih sangsi dengan jawaban saya dan kembali bertanya.
“Ya, setahu saya beliau salah seorang penyeru dakwah di tempat ia tinggal, beliau juga memiliki pemahaman dan wawasan Islam mendalam serta fasih berbahasa arab…” kali ini saya jawab sedikit lebih rinci untuk meyakinkan sang ibu. Kebetulan saya dekat dengan isteri sang ustadz sehingga cukup mengetahui aktivitas mereka berdua.
Raut muka ibu yang bertanya tadi agak sedikit berubah, sepertinya berusaha mempercayai apa yang baru saja saya ucapkan. Pandangannya tertuju ke tempat di mana duduk sesosok muda berambut gondrong sebahu yang mengenakan peci dan kemeja serba putih. Sosok yang baru saja dikatakan MC sebagai ustadz ini memang sangat nyentrik penampilannya, berbeda dengan ustadz-ustadz lainnya yang bergantian mengisi ceramah selama ini.
Disadari atau tidak, seringkali kita terperangkap pada pola pikir atau tata nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat. Tak jarang ketika menilai seseorang kita tergesa-gesa mengukur hanya pada penampilan fisik, gelar atau jabatan semata, namun mengabaikan bagaimana pribadi di balik tampilan luarnya. Sehingga tak heran berkembang di masyarakat, orang-orang yang sibuk memperbaiki tampilan luar dan berbangga dengan wajah, pakaian, rumah, kendaraan atau jabatan yang disandang tetapi lalai untuk menata pribadinya. Padahal Allah SWT sendiri telah berfirman bahwa..”.Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu….”(QS. Al-Hujuraat:13)
Pernah seorang ustadz bercerita, di tempat tinggalnya masyarakat hanya mau mendengar dan hormat bila seseorang yang bicara telah bergelar haji sekalipun orang tersebut awam dalam masalah agama. Sebaliknya, masyarakat tak akan menggubris bila seseorang tak menyandang predikat haji walaupun orang itu berwawasan dan memahami Islam dengan baik. Sehingga seorang penyeru dakwah di sana baru akan didengar seruannya dan berpengaruh pada masyarakat tersebut bila embel-embel haji telah melekat pada dirinya.
Ada juga cerita unik seorang ustadz lain yang menuturkan pengalamannya usai memenuhi permintaan menjadi imam sekaligus penceramah saat bulan Ramadhan di sebuah masjid. Salah seorang pengurus masjid tersebut berbisik kepadanya agar beliau bersedia mengisi kembali namun dengan sebuah pesan agar sang ustadz di lain waktu harus menggunakan peci, karena pada saat berceramah di kesempatan itu rambut sang ustadz dibiarkan leluasa tanpa penutup.
Heran dan sangsi yang dirasa oleh sang ibu tadi juga adalah sesuatu hal yang sangat mungkin terjadi, karena imej yang berkembang di masyarakat tentang sosok seorang ustadz umumnya adalah sosok berambut pendek, berbaju koko dengan atau tanpa jas serta dilengkapi dengan sorban atau peci serta berbagai atribut lainnya. Maka ketika ada sosok yang bebeda dari pakem yang ada, seperti penampilan sang ustadz berambut gondrong saat itu, tak heran bila mengundang perasaan aneh atau sangsi salah seorang jamaah.
Saya sendiri pernah terjebak dalam perasaan “seram” bila melihat orang-orang berambut gondrong. Namun perasaan itu lambat laun menghilang ketika saya bertemu dengan beberapa remaja berarmbut gondrong yang menjadi pendatang baru di masjid.
Saat bulan Ramadhan tahun lalu, saya pernah melihat salah seorang remaja gondrong itu sedang khusyu membaca Al-Quran ketika menanti ceramah khusus untuk kalangan remaja dimulai. Pada kesempatan lain, remaja itu menjadi imam shalat buat teman-temannya. Dia dan remaja gondrong lainnya hingga saat ini tak pernah absen dari berbagai acara yang diselenggarakan di masjid. Mereka ternyata jauh dari imej yang menyebabkan perasaan seram itu hadir menyelimuti pikiran saya. Bahkan kini yang ada hanya rasa haru membuncah setiap melihat mereka melakukan berbagai aktivitas ibadah.
Ya Allah, ampunilah hamba karena pernah terbersit sebentuk rasa akan penampilan luar hamba-hamba-Mu yang lain. Padahal bisa jadi mereka sangat mulia di hadapan Engkau. Berkali-kali istighfar menggema di hati dan terucap di lisan seiring dengan penjelasan sang ustadz gondrong yang saat itu sedang membahas tentang orang-orang yang bersegera pada ampunan Allah.
berbagi di eramuslim
1 comment for “Gondrong”