Seorang gadis berpenampilan lembut menarik perhatian saya di masjid Minggu siang itu. Dia duduk dengan anggun sambil mengulum senyum. Pandangannya tertuju pada tingkah lucu anak-anak yang duduk melingkar mengitari seorang guru yang sedang melatih mereka menghafal bacaan shalat.
“Hmmm…siapa dia ya?”rasa penasaran menyergap pikiran saya. Namun saya urungkan niat untuk menyapanya khawatir mengganggu proses belajar-mengajar saat itu. Selang berapa detik kemudian saya pun terhanyut dalam suasana cerianya anak-anak yang semangat mengikuti kata per kata yang diucapkan sang guru.
Tak lama kemudian terdengar suara muadzin mengumandangkan adzan. Kami semua segera menghentikan aktivitas lalu mulai mengantri wudhu. Usai berwudhu, saya segera menuju ruang shalat. Di shaf paling depan dan dua baris sesudahnya para pria dan anak-anak kecil telah berbaris rapi. Sementara itu di shaf tempat anak-anak perempuan, nampak seorang guru sedang sibuk mengenakan mukena pada anak-anak yang masih kecil. Saat hendak menuju shaf paling belakang, saya terkejut karena si gadis anggun tadi telah duduk di barisan yang hendak saya tuju.
Dia menyunggingkan seulas senyum kala saya menghampiri dan duduk sebelahnya. Saya pun membalas senyumnya sambil menata hati mengusir segala ragu untuk mengulurkan tangan padanya. Akhirnya kami pun bersalaman sambil menyebutkan nama masing-masing. Tak berapa lama kemudian muadzin mengumandangkan iqomat, serentak semua jamaah berdiri. Dia pun ikut berdiri lalu merapatkan tutup kepala dari jaket putih yang ia kenakan. Secara spontan saya meminta seorang sahabat mengambilkan mukena untuknya. Terlihat raut senang terpancar di wajahnya kala dibantu sahabat saya mengenakan kain untuk shalat itu.
Ada rasa haru menjalari hati saya tiap kali imam bertakbir memimpin gerakan shalat siang itu. Subhanallah! Sungguh tak saya sangka sebelumnya, ternyata ketika tadi dia menyampaikan keinginan untuk mempelajari shalat adalah dengan ikut melakukannya. “Ya Allah, semoga masjid ini dan orang-orang yang memakmurkannya menjadi jalan baginya untuk memperoleh hidayahMu!” pinta saya di penghujung doa.
Usai shalat, kami segera berkemas karena hari itu kami berencana mengunjungi sebuah bazaar penggalangan dana. Sayang sekali dia tak bisa ikut kami karena mesti bekerja. Saat hendak berpisah, dia berbisik menyampaikan rasa sukanya telah ikut shalat dan berjanji akan kembali datang di hari Selasa saat ta’lim ibu-ibu rutin dilaksanakan.
———————————
Sosok anggun itu kembali hadir di masjid sesuai janjinya beberapa hari lalu. Saya baru menyadari kehadirannya usai membaca quran secara berkelompok pada sesi pertama pengajian selesai dilaksanakan. Saat menunggu ceramah pada sesi berikutnya, saya manfaatkan waktu jeda itu untuk mengenalnya lebih jauh. Sejenak saya coba kumpulkan kosakata Jerman yang masih terbatas dalam memori saya dan beranikan diri untuk memulai percakapan dengannya.
Akhirnya saya tahu, dia adalah seorang mahasiswi Universitas Humboldt yang sedang mempelajari Indonesia. Hmmm…Saya jadi teringat beberapa waktu lalu dari universitas yang sama sekelompok muda-mudi rajin mendatangi masjid dan bertanya banyak hal pada pengurus. Tetapi gadis yang mengaku berasal dari Frankfurt ini tidak saya lihat berkelompok dengan mereka. Entahlah saya tak berani bertanya lebih lanjut.
Ketika saya sibuk meredam niat untuk bertanya banyak hal padanya, tiba-tiba saja dia bertanya apakah saya bisa membaca Quran. Saya mengangguk, lagi-lagi dia bertanya apakah saya membaca tulisan arabnya atau terjemahannya. Saya kembali menjawab, dua-duanya. Terlihat sorot kagum darimatanya, lalu dia mengatakan bahwa dirinya baru bisa membaca terjemahan. Rupanya, tadi dia mengambil dari rak masjid sebuah quran terjemah berbahasa Jerman. Saya katakan padanya, bahwa suatu saat dia pasti bisa membaca al-Quran.
“Wirklich?” ia bertanya antusias. Sekali lagi saya lihat binar penuh harap dalam tatapan matanya. Saya mengangguk mantap sambil memperlihatkan sebuah buku IQRA kemudian lembar demi lembar saya buka, mencoba mengenalkan huruf-huruf hijaiyah kepadanya. Dia memperhatikan huruf-huruf itu dengan seksama, kemudian tersenyum. Entahlah, apa maksud senyumnya kali ini.
Saat ceramah berlangsung, gadis Frankfurt itu duduk sebelah saya. Nampak dia begitu serius mendengarkan uraian sang ustadzah. Untunglah seorang sahabat membantu menerjemahkan ke dalam bahasa Jerman isi ceramah yang pada kesempatan itu membahas tentang asma’ul husna. Dia terlihat mengangguk-angguk senang menyimak penjelasan dari sahabat saya itu. “Ya Allah, jadikanlah tuturan sahabat saya itu menjadi jalan baginya menempuh jalan kebenaran”, doa saya dalam hati.
Di penghujung acara pengajian, saat biasanya ibu-ibu “menyerbu” ruang belakang tempat beraneka ragam makanan ala Nusantara tersaji, gadis Frankfurt itu pun turut serta. Dia terlihat begitu senang dengan suasana makan bersama tersebut. Sambil menikmati makanan, dia bercerita pada saya tentang keluarga dan aktivitasnya. Sayang sekali saya tak bisa berlama-lama mendengarkan ceritanya karena jam sudah menunjukkan waktu menjemput anak tiba.
Saat berpamitan padanya, dia merangkul saya sambil menyampaikan rasa senangnya bisa berjumpa dan berkumpul dengan muslimah-muslimah Indonesia, dan dia ingin kembali mengikuti kegiatan ta’lim tersebut di pekan mendatang.
“Saya bisa bicara bahasa Indonesia sedikit, tapi saya mengerti kalau orang Indonesia bicara..”.tiba-tiba saja kalimat itu terucap dari lisannya dengan sedikit susah payah.
“Kalau begitu sering-seringlah kemari, ” kata-kata itu spontan saya ucapkan karena kaget campur gembira dengan apa yang baru saja saya dengar darinya. Terlintas kembali sikap saya saat makan bersama tadi yang lebih banyak mendengar dari pada bicara karena keterbatasan bahasa.
Ia mengangguk menyetujui tawaran saya. Akhirnya saya benar-benar pamit dan segera bergegas menuju pintu. Dalam bis yang mengantarkan saya pulang, tak henti kudoakan gadis Frankfurt itu mendapat cahaya hidayahNya.
berbagi di eramuslim