“Kenapa tidak coba menyampaikan sejujurnya?“… kata-kata itu selalu mengiang-ngiang di telinga saat seorang sahabat mencoba memberi saran agar kami memindahkan tempat anak-anak kami menghabiskan sebagian waktunya di Kindergarten (semacam taman kanak-kanak).
Hmm…sebuah saran yang baik sebenarnya. Tapi entah kenapa kami belum mencobanya. Sejujurnya, hati kami sering diliputi rasa was-was, khawatir tak bisa menyampaikan dengan bijaksana. Hal ini selalu menjadikan kami urung bertanya pada setiap pengelola sekolah dekat rumah yang kami kunjungi.
Sejak pindah Wohnung (rumah) ke belahan Berlin yang lain, jarak tempuh menuju Kindergarten jadi lumayan jauh. Tadinya hanya memerlukan waktu 5 menit untuk sampai ke tempat dengan jalan kaki, sekarang mesti menempuh sekitar 15 menit dengan menggunakan bis bahkan terkadang lebih jika kami telat sampai di halte, karena bis di sini watunya tertentu dan biasanya tepat waktu, tidak seperti bis-bis atau angkot dalam kota di Indonesia yang bisa kapan saja ada. Jadilah kami mesti menunggu tujuh sampai sepuluh menit hingga bis berikutnya muncul.
“Bunda…bis dataaang…bis welaat!“ teriak girang khas anak sulung kami yang masih keliru melafalkan suatu kata, sambil kakinya sibuk menendang-nendang Kinderwagen (kereta dorong buat bayi/anak-anak) ditingkahi gelak tawa adikya, sangat menghibur hati saat menanti kedatangan bis. Begitulah suasana pagi selama tiga bulan sejak kepindahan kami kala mengantar anak sekolah. Kami bergantian mengantar atau menjemput.
Sebetulnya kondisi ini tidak terlalu masalah, kami cukup menikmatinya. Hanya saja tanpa diduga sebelumnya, akhir-akhir ini suka terjadi aksi mogok kendaraan umum. Aksi tersebut berlangsung tak tanggung-tanggung bisa sampai dua minggu, bahkan seringkali mereka mengancam akan mogok dalam batas waktu yang tak terbatas bila kepentingannya tak dipenuhi.
Inilah yang sedikit meresahkan kami. Anak-anak terpaksa tidak kami sekolahkan selama mogok, dan ini menyebabkan mereka menjadi muram. Padahal selama tidak di sekolahkan, anak-anak sering saya atau suami ajak ke Spielplatz (tempat bermain) untuk melepas jenuh seharian di rumah. Mungkin kemuraman anak-anak dikarenakan tak bertemu dengan teman-temannya, saya coba mengira-ngira. Karenanya, kami jadi berpikir ulang untuk tetap mempertahankan sekolah anak-anak di sana.
Selama ini hal yang membuat kami tak ingin memindahkan mereka ke tempat yang dekat wilayah rumah sekarang adalah masalah makanan. Sudah menjadi kebijakan Kindergarten umumnya, makan siang pihak sekolah yang menyiapkan.
Sebetulnya sudah banyak Kindergarten menetapkan ohne Schweinefleisch (tanpa daging babi) dalam menu makanan untuk memenuhi keinginan penduduk muslim, tetapi daging-daging lainnya tetap mereka sediakan. Beruntungnya, Kindergarten tempat anak-anak kami bermain selama ini memiliki koki muslim. Kepala sekolahnya pun meyatakan kepada kami bahwa daging-daging yang dihidangkan halal, karena si koki muslim itu yang membeli. Kami lega mendengarnya, dan itulah yang membuat kami senang memasukkan anak-anak di tempat tersebut.
Namun mengingat situasi yang ada terpaksa membuat kami harus mencari lagi sekolah yang dekat dengan rumah. Satu per satu kami kunjungi daftar sekolah terdekat. Tapi sejauh itu kami belum menemukan yang pas. Banyak teman yang menyarankan agar kami jangan terlalu memikirkan masalah makanan, …’’di sini kan kita minoritas, jadi ya harus mau menerima apa adanya, sudah syukur tidak ada Schweinfleisch…“ ujar seorang teman.
Sekalipun saya mengerti apa yang dimaksud teman saya itu, tapi entahlah…hati kami rasanya tak tega membayangkan makanan yang masuk ke dalam tubuh anak-anak kami sesuatu yang disembelih tanpa menyebut nama Allah.
Kami hanya bisa berdoa dan berikhtiar mencari tempat yang nyaman buat anak-anak kami. Hingga suatu ketika kami menemukan sebuah Kindergarten yang memiliki konsep natur.
Salah satu hal yang menarik hati kami, di samping ohne Schweinefleisch (tidak menyediakan daging babi), mereka menyatakan tidak menyediakan makanan apapun yang mengandung gelatin (bahan pengenyal). Sudah umum di sini kebanyakan permen mengandung gelatin yang berasal dari babi. Biasanya anak-anak di Kindergarten sering diberi permen oleh gurunya pada saat-saat acara tertentu.
———————————
Langit biru cerah ditingkahi kicau burung menggugah semangat kami memenuhi janji bertemu dengan kepala sekolah Kindergarten Natur siang itu. Sepanjang jalan yang kami lewati, pohon-pohon mulai menghijau begitu pula bunga tulip dan bunga-bunga lainnya bermekaran indah dengan aneka warna menghiasi trotoar.
Subhanallah! Sungguh indah pemandangan hari ini, sesuatu yang kami rindukan setelah berbulan-bulan nyaris tiap hari kami diselimuti cuaca dingin dengan matahari yang enggan menampakkan sinarnya. Memasuki gerbang sekolah, takjub kami bertambah. Sekolah menyembul di balik perdu-perdu yang berbaris rapi, terlihat sangat asri dengan halaman luas dan teduh. Pohon-pohon rindang berderet di sepanjang jalan setapak menuju gedung sekolah. Beberapa anak sedang berkejar-kejaran, ada juga anak-anak yang sedang belajar menyapu halaman dan sebagian lain memetik bunga-bunga. Beberapa orang dewasa (sepertinya guru) menyapa kami dengan ramah.
Hmmm…saya langsung jatuh cinta dengan tempat tersebut. Pertemuan dengan sang kepala sekolah berlangsung akrab dan ramah. Tak lama kemudian kami dikenalkan dengan calon guru anak-anak. Seorang wanita yang ramah dan terlihat penyayang anak. Kami diajak berkeliling mengenal kelas calon anak kami. Kelas berupa ruang yang luas dan penuh pernak-pernik yang disukai anak-anak.
Sang guru menerangkan panjang lebar berbagai program yang mereka canangkan untuk proses tumbuh kembang anak. Saya dan suami menyimak dan sangat tertarik mendegarnya, sesekali kami bertanya. Sampai akhirnya sang guru sepertinya sudah merasa cukup menerangkan dan kemudian dia bertanya pada kami, „haben Sie noch ein frage?“(masih ada yang ingin Anda tanyakan? Kurang lebih begitulah maksudnya).
Kami awalnya sangat ragu, namun kemudian kami pacu keberanian untuk mengungkapkan yang kami resahkan selama ini. Nampak suami saya sangat berhati-hati dalam menyampaikan. Sementara itu saat menunggu reaksi sang guru, saya mencoba berdoa dalam hati memohon kepada Allah agar kami diberi kemudahan dalam menjelaskan kepadanya.
Ternyata, benar-benar tak dinyana sang guru dengan senyum terkembang mengangguk-angguk dan berjanji akan menuliskan pesan kami bahwa dengan alasan keyakinan agama, anak-anak kami tidak akan dihidangkan daging apapun kecuali ikan, udang dan telur. Begitupun saat acara frühstück (sarapan pagi) bersama yang diadakan sebulan sekali di sekolah, mereka tidak akan menghidangkan Würst (sosis) ataupun daging-daging olahan lainnya khas makanan Jerman untuk anak-anak kami selain brötchen (roti) yang diolesi Marmelade (selai) dan Käse (keju) saja.
Kami pulang dari tempat tersebut dengan syukur yang tiada tara. Sepanjang perjalanan, saya merasakan hikmah bahwa ternyata hanya butuh keistiqomahan dan keberanian saat mempertahankan prinsip yang diyakini, maka Allah akan menurunkan pertolonganNya.
Alhamdulillah, terimakasih ya Allah, Engkau mudahkan urusan kami. Sungguh janji Engkau teramat benar.
——————
(teruntuk keluarga yang membesarkan anak-anaknya di tengah minoritas muslim)
berbagi di eramuslim