Suatu hari saat matahari begitu terik dan orang-orang berbusana seadanya, saya bergegas menuju sebuah halte. Di tempat tersebut saya lihat ada seorang wanita berambut pirang yang sedang merokok. Dia menatap saya lama dari ujung kepala hingga kaki saat saya menghampiri dan duduk sebelahnya. Saya tersenyum dan menyapanya sekedar basa-basi. Wanita tersebut membalas sapaan saya dan tatapannya masih saja seperti tadi. Saya maklumi mengapa wanita itu memandang sedemikian rupa karenamerasa sudah terbiasa ditatap seperti itu. Ya, tentunya wanita itu keheranan karena saat cuaca panas terik, saya mengenakan busana yang berbeda dengan mereka.
Ternyata setelah lama mengamati saya, keluar dari bibirnya kata-kata yang memuji penampilan saya. Benarkah? Saya pikir pujianya hanya sekedar basa-basi agar bisa ngobrol dengan saya untuk melepas kejemuannya menanti bis. Akhirnya saya berbincang-bincang dengannya, namun pujian itu dia ucapkan berkali-kali di sela obrolan kami bahkan saat ada wanita lain yang menghampiri yang ternyata temannya, dia sampaikan pujian itu dan temannya mengangguk setuju.
Saat bis yang saya tunggu datang, saya pamit pada mereka dan merekapun melambaikan tangan mengucap salam perpisahan. Saya pun membalas lambaian dan ucapan perpisahan yang sama. Di dalam bis saya merenungi kejadian tersebut. Saya bukan merasa tersanjung dengan pujian kedua wanita tadi, hanya merasa heran dengan sikap bahkan kata-kata yang mereka ungkapkan.
Sebelum menginjakan kaki di bumi Berlin saya sudah mempersiapkan mental untuk ditatap dengan tatapan sinis dan merendahkan agar saya tak sakit hati menghadapinya. Tetapi tatapan menyakitkan itu jarang sekali saya temukan. Apa mungkin masyarakat Jerman di Berlin sudah biasa melihat jilbaber dari Turki dan Arab berseliweran? Atau karena pertolongan Allah semata yang menyebabkan mereka bersikap baik? Entahlah, yang jelas sejauh ini saya coba membiasakan tersenyum dan menyapa mereka saat duduk bersebelahan di tempat-tempat umum.
Pikiran saya jadi menerawang ke masa di mana pertama kali saya hendak ke luar negeri. Banyak orang yang mengkhawatirkan keselamatan saya karena saat itu Indonesia tengah menjadi sorotan atas beberapa peristiwa.
“Nak, jangan lupa jilbabmu dipendekkan saat berangkat nanti ya?.”
Rasanya sebuah suara kembali terdengar di gendang telinga saya. Kalimat itu meluncur dari seorang ibu separuh baya yang merupakan peneliti senior di tempat saya bekerja dulu. Beliau merasa khawatir dengan keamanan saya saat mendapat tugas untuk mengikuti pelatihan bioteknologi di Thailand tepatnya di Universitas Kamphaengsen yang terletak di pinggiran kota Bangkok.
Saat itu saya hanya tersenyum dan mengucapkan terimakasih atas perhatiannya. Saya memaklumi kenapa beliau menyarankan saya yang sehari-hari mengenakan busana muslimah serba longgar dan berjilbab lebar agar sedikit merubah penampilan, karena menjelang keberangkatan itu baru saja terjadi peristiwa yang menggegerkan dunia, yakni peristiwa bom Bali. Beliau khawatir kalau saya tetap berpenampilan demikian akan dicap fundamentalis dan lain sebagainya.
Namun di saat keberangkatan dan sepanjang mengikuti pelatihan selama 2 minggu, tanpa mengurangi hormat saya akan pesan dari sang peneliti senior tersebut, saya tetap dengan penampilan seperti biasanya. Keputusan saat itu saya ambil karena hanya ingin membuktikan dengan berbusana sesuai syar’i tak menghalangi muslimah untuk bermuamalah, hatta dengan non muslim sekalipun!
Saya sangat menikmati saat-saat perkenalan dengan seluruh peserta pelatihan yang merupakan perwakilan dari negara-negara Asia Tenggara. Begitu pula saat kerjasama kelompok, saya berusaha mengerjakan seluruh latihan sebaik mungkin. Saya sadari betul, di samping mewakili negara, juga saat itu saya salah satu dari dua orang yang beridentitas muslim dalam pelatihan tersebut. Maka saya merasa harus memberi citra yang baik untuk agama dan bangsa.
Di sela-sela pelatihan saya berusaha menjalin persahabatan dengan peserta lainnya. Alhamdulillah semua menyenangkan. Tidak ada yang mempermasalahkan penampilan saya.Tiap pagi saya menyapa mereka dengan menangkupkan kedua telapak tangan ke dada dan sambil tersenyum mengucapkan sedikit bahasa Thailand yang saya pelajari dari kamus yang diberikan teman Thailand. Mereka, terutama peserta dari Thailand biasanya tertawa senang bahasa mereka saya pakai, walaupun sedikit. Sambil menunggu hasil pekerjaan atau saat istirahat, mereka seringkali bertanya tentang Islam dan juga keheranan manakala kami tidak makan minum seharian karena waktu itu bertepatan dengan bulan puasa. Jadilah kami punya kesibukan lain, menjadi duta Islam untuk memenuhi rasa ingin tahu mereka.
Di penghujung waktu pelatihan, saya kembali ke tanah air dengan meraih ilmu, mendapat nilai kelompok terbaik dari kerja-kerja laboratorium dan membawa kenangan manis jalinan persahabatan dengan mereka. Sungguh sehelai kain identitas yang menjuntai lebar itu tak bisu dan tak menjauhkan saya untuk berinteraksi dengan siapapun.
Beberapa waktu lalu, seorang sahabat muslimah bercerita kepada saya tentang lika-liku perjuangannya untuk eksis dalam lingkungan mahasiswa-mahasiswa Jerman di tempatnya kuliah. Sebulan pertama, mahasiswi cerdas yang mendapat beasiswa dari pemerintah Jerman ini merasa down karena teman-temannya acuh tak acuh, bersikap dingin bahkan tak pernah menganggap keberadaan dirinya. Mereka tak mau menjadikannya teman diskusi atau kerja kelompok. Seringkali mereka menampakkan muka sinis dan berpaling saat disapa sang mahasisiwi berjilbab yang supel dan periang ini. Untunglah sang suami tetap menyemangatinya hingga sang muslimah tetap menampakan keceriannya, menyapa walau tak pernah dibalas dan belajar dengan tekun.
Hingga suatu hari terjadi perubahan sikap 180 derajat dari teman-teman Jermannya itu. Berawal dari ketidakmampuan teman-temannya mengerjakan sebuah soal statistik yang diberikan sang dosen. Hanya muslimah itu yang mampu menjawab soal tersebut dan menuliskannya di papan tulis. Sang dosen memuji otak brilyan sang muslimah yang tetap rendah hati. Sejak itu tiap kali ia memasuki ruang kuliah semua mahasiswa Jerman selalu menyapa duluan, menjadikannya rujukan bahkan berlomba ingin satu grup diskusi dengan muslimah tersebut. Lagi-lagi sehelai kain identitas itu “bicara” agar muslimah tersebut tidak lemah saat diacuhkan bahkan menjadi pendongkrak semangat berprestasi walaupun hanya ia sendirian yang berjilbab.
Belum lama ini seorang sahabat muslimah lain mengisahkan pula pengalamannya. Beberapa kali ditolak melamar kerja di bidang yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Alasannya karena sehelai kain identitas itu. Muslimah tersebut menelpon saya dan meminta saran. Saya berusaha menyemangatinya untuk tetap istiqomah, terus berikhtiar dan berdoa serta menyarankan padanya agar menumbuhkan dalam hati rasa takut hanya pada Allah bukan pada mahlukNya. Maksudnya, agar dia tak perlu gentar lantas melepas jilbab demi mendapatkan pekerjaan di Jerman. Cukuplah Allah yang menjadi wali, karena hanya Dia yang berkuasa membolak-balik hati manusia.Kini, muslimah tersebut menuai manisnya istiqomah setelah berjuang menghadapi berbagai rintangan. Sungguh tak disangka dia dengan tetap berjilbab diterima bekerja di sebuah lembaga yang sesuai dengan ilmu yang dipelajarinya, padahal lembaga tersebut jelas-jelas menampakan warna agama yang dianut (katholik).
Kembali sehelai kain identitas itu mampu bicara dengan bahasanya sendiri yang dapat diterjemahkan sang pemakai sebagai ujian dan tantangan bahwa perintahNya untuk kaum muslimah adalah sesuatu yangwajib dilaksanakan dengan sepenuh keyakinan dan di sana, lezatnya buah istiqamah menanti.
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita (Al-Ahqaaf:13).
berbagi di eramuslim